
Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo
Pemilihan Umum adalah pentas demokrasi sangat besar yang perlu diawasi. Dan di antara para pengawas pemilu yang selalu duduk di baris paling depan, tersebutlah nama Ratna Dewi Pettalolo.
Satu-satunya perempuan dalam daftar pimpinan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di era kiwari ini, memulai karier kepemiluannya pada 2009 sebagai Ketua Panwas Kota Palu. Sejak itu, ia seperti tidak pernah mengenal jeda dalam memainkan peran sebagai penyenggara pemilu di tanah air. Wajar, jika berseliweran pendapat yang menjulukinya sebagai “Srikandi Pemilu dari Timur”.
Dari pilkada ke pemilu nasional, karir perempuan yang akrab disapa Dewi ini, dalam pengawasan kepemiluan, tidak pernah surut. Kinerjanya telah teruji dengan sejumlah pemilu, antara lain Pemilu Tahun 2009, Pilkada Kota Palu Tahun 2010, dan Pilkada Provinsi Sulawesi Tengah 2011.
Pada tahun 2012 – 2017, Dewi terpilih sebagai Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah. Kemudian naik ke pentas nasional dengan menjadi Anggota Bawaslu RI Periode 2017 – 2022.
“Penyelenggara pemilu dituntut seperti manusia setengah dewa.
Dia harus memiliki kapasitas pengetahuan dan kapasitas moral yang mumpuni,”
-Ratna Dewi Pettalolo-
Sejumlah penghargaan diperoleh Dewi selama menjadi pengawas pemilu, antara lain Pengawas Pemilu Terbaik Tingkat Provinsi Sulawesi Tengah (2009) dan Bawaslu Award (2015).
Rekam jejak yang konsisten itu membuat penyandang gelar Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar ini dipercaya menjadi Anggota DKPP RI periode 2022–2027. Sebelumnya, ia pernah menjadi bagian dari Tim Pemeriksa Daerah dan Anggota DKPP RI Ex Officio Bawaslu periode 2017-2018.
Melengkapi kiprahnya sebagai pengawas etik penyelenggara pemilu, dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah ini telah menerbitkan dua buku. Buku pertama berjudul “Penalaran Etika : Konsep dan Penerapan” yang diterbitkan pada Oktober 2024 oleh Penerbit Kompas. Buku kedua, berjudul “Argumentasi Etika”, terbit pada awal November 2025 dengan penerbit yang sama.
Penyelenggara pemilu, dalam sudut pandang ibu dua anak ini, bukan sekadar petugas teknis lima tahunan. Melainkan komitmen seumur hidup. Sebab itu, dalam sejumlah kesempatan, Ia mengingatkan pentingnya para penyelenggara pemilu memelihara kesadaran diri sebagai figur teladan yang menjaga martabat demokrasi.
“Penyelenggara pemilu dituntut seperti manusia setengah dewa. Dia harus memiliki kapasitas pengetahuan dan kapasitas moral yang mumpuni,” ujarnnya suatu ketika.
Begitulah. Bagi Dewi, hukum dan etika itu ibarat dua tiang rumah demokrasi. Hilang satu, roboh semuanya. Karena itu, ia menegaskan bahwa penyelenggara pemilu harus berhati-hati dalam berpikir, berbicara dan bertindak. Karena jabatan itu melekat pada diri mereka tanpa kenal ruang dan waktu tertentu; bukan ditinggal di meja kantor.

